Memori perpisahan (Cerpen pertama, Maret 2010)

“Fika, malam nanti pergi ke bioskop yuk, gue traktir dech. Tapi ada syaratnya”, tanya Fadi. Cowo berwajah cakep ini berseru dengan tampang yang agak polos sambil mengeluarkan uang dari dompet narutonya. “Bohong tue”, ujarku meledek dengan cowo yang agak gembur ini. Siapa sich yang tak kenal dengan Fadi. Cowo yang suka jalan malam tapi punya otak yang encer dan juga punya kepala yang licin seperti bola. “Bohong apaan. Gue ngajak loe gara-gara ada dia. Bodo amat ma loe”, ledeknya sambil menunjukkan jerawat yang baru tumbuh. “Iya… gue tau kok… tapi loe juga harus bawa dia untuk malam terakhir kita sebagai siswa SMP. Selamat tinggal masa SMP yang menyenangkan”, teriakku memantulkan gema di langit. Memang aku dan manusia yang tidak punya hubungan ini mempunyai masing-masing orang yang di sukai. Bisa di bilang Saling change teman gi tue.
Aku sangat menyukai Bian. Kurasa semenjak kelas satu SMP kayaknya dech. Bian, cowo dengan tinggi 154 cm ini mempunyai postor tubuh yang elegan banget. Bila di ingat-ingat, sudah banyak yang menyatakan cinta padanya tapi dia tak pernah menanggapinya. Aku sih santai saja but I don’t care with his problem. Dan perkenalkan juga My Best Friend, Difa. Cewe ini super duper baik yang pernah aku temui. Dengan lesung pipit di pipinya membuat dirinya semakin manis. Difa merupakan temanku yang selalu ada bersamaku seperti lem dan amplop.
Perpisahan kelas 3 tinggal 4 hari lagi. Fadi sibuk dengan bandnya dan aku sibuk ngurus masuk sekolah karena aku akan masuk sekolah yang jauh dari orangtuaku. “Fika, gimana? Malam ni jadikan!”, tanya Fadi mengejutkan dari lamunanku. Huh… anak ini… kataku dalam hati. “ jadilah, lagian malam ne ada pertunjukan menarik di bioskop Pratama”, ujarku. Dia mengerenyitkan keningnya. “menarik apaan?, jangan ganggu gue saat gue dekati dia”, ancamnya dengan tegas. Pede amat nih anak. Siapa sih yang mau ganggu dia. “ehm… Bian datangkan. Gue kangen banget dech dengan dia?”, ujarku dengan santainya. Hari ini Bian tidak datang ke sekolah karena sakit. Kata fadi sih sakit tifus.”Devo, loe ikut atau tidak malam nanti ke bioskop. Caca sendirian tuh. Jadi temani dia yach…” ujarku. Devo mengangkat jempolnya. Malam ini harus menjadi kenangan yang tak terlupakan bagi semuanya, gumamku. “Fadi, antar gue pulang. Gue tidak bawa motor nich”, ujarku kepada Fadi. “malez…”, katanya sambil pergi meninggalkanku sendiri. Wah… resek banget nih anak… pikirku dalam hati.
Tidak terasa siang telah berganti menjadi malam. Aku sudah mulai siap-siap untuk pergi ke bioskop. Aku memakai celana jeans kebangganku di sertai dengan jaket hijau warna favorit Bian. Kulihat jam menujukan pukul 19.00 wib dari handphone genggamku. Terdapat pula sms dari orang yang paling resek dan kepala botak.
Fika, loe udah pergi!!!
Sms dari Fadi kubaca. Dengan cepat ku ambil kunci motorku. “ma, aku pergi ya”, kataku sambil berlalu meninggalkan meja makan. Aku menuju garasi dan siap untuk pergi ke tempat terindah dengan motor merah kesayanganku. Malam ini langit begitu cerah. Banyak bintang bersinar menerangi kota yang mulai sibuk oleh dengup detang jantung. Tibalah aku di sebuah rumah yang agak besar berwarna ungu muda. Tiiiit….tiiiit… bunyi klason motorku kubunyikan. Muncullah si cewe berlesung pipit. “kha… tunggu bentar ya”,. Dia kembali masuk ke dalam rumahnya. Waktu udah menunjukkan pukul 19.16 wib. Aku masih tetap menunggu gadis itu keluar dari istananya.
“Difa, lama banget sih”, ujarku dengan marahnya. “sabar pank kha… he…he…he… mau ke temu Bian, kok gue yang kena sih”, katanya membela. Aku tersenyum. “tapi gue juga di jadikan tumbal sama si Fadi, cowo botak itu”. Kataku membalas perkataan Difa dengan wajah agak polos. “huh… loe ini”, Difa tertawa.
Aku dan Difa sudah menunggu lebih kurang 15 menit. Fadi belum juga datang. Ku raih handphoneku dan mulai sms dia.
Fadi… lambat banget sih….
Pujaan hati loe dah nunggu tuh…? ^_^
Ehm… kalau dia datang, akan ku bunuh dia, pikirku dalam hati. “jangan gitu kha, nanti malah loe yang akan di bunuh ma dia”, ujar Difa. Aku terkejut. Difa memang MY best friend dech. Bisa tahu isi hati aku. Tring….tring…. bunyi handphone dari saku celanaku. Ini pasti Fadi, gumamku. Setelah kulihat, sms itu ternyata dari Devo.
Fika
Lama banget sih loe…
Gue dan Bian dah nunggu loe nih
Oh…em…ji… kemana sih si botak itu. Rasanya ingin aku langsung pergi saja meninggalkan dia. Untung hal tersebut tidak terjadi karena Fadi sudah datang. Dia datang bersama Caca, cewe yang merupakan My Best Friendku juga. “let’s go…”, ujarku dengan semangat.
Di perjalanan, aku sudah bisa mengkhayal bisa berjalan dengan Bian. Apalagi aku udah tidak ketemu ma dia lebih kurang seminggu. Aku sungguh – sungguh rindu dengan dia. Kuparkirkan motorku di tempat parkir. Fadi ikut memarkirkan motornya di samping motorku. Aku tersenyum padanya. Mungkin dalam pikirnya, dia berkata tentang diriku yang sudah gila. He,,,he,,,
“apaan sih loe, gue jadi merinding melihat loe senyum-senyum ke-gue seperti itu”, ucapnya setengah mengejek. Aku semakin melebarkan senyumku. Biarin aja, gumamku.
Aku, Difa, dan Caca, melangkah meninggalkan dirinya. Dari kejauhan dia terlihat mengejar kami. Aku cengar-cengir sendiri.
Aku tiba di sebuah kafe kecil di dalam bioskop tersebut. Aku coba melirik ke kiri dan ke kanan mencari Bian dan Devo. “Fika… sini”, kata Devo sambil melambaikan tangannya. Aku melihat ke arah tangan tersebut. Terlihat Bian dengan celana pendek dan jaket coklat yang membuat karismanya semakin bersinar. Malam ini Bian sungguh ganteng sekali. Aku duduk di sampingnya dan pura-pura tidak peduli dengan dia. Melihat kelakuanku, devo tertawa. “Fika… jangan cengar-cengir dong. Langsung aja”, kata Devo coba mengejekku. “langsung apaan?” kataku dengan tersenyum. “iya… langsung aja. Lagian kalian tidak akan ketemu lagi. Loe mau masuk sekolah asrama kan”, ujar Fadi ikut-ikutan. “diam dech Difa”, membalas ucapan Fadi. Mendengar itu Difa terkejut. “kok gue sih”, pura-pura marah. Aku tersenyum. Aku mulai memandang Bian. Dari tadi Bian tidak ikut kami berbicara. “Ca, ajak Bian bicara dong, dia jadi kacang tuh”, ucapku mengejek. Bian tetap diam. Napa nich anak, biasanya kalau aku gituin, dia akan membalas minimal di akan memukul kepalaku dengan jari halusnya. Tapi malam ini sungguh beda. “Ian, loe kenapa sih. Loe di tembak ma sapa lagi”, ujarku ingin membuat dia tersenyum. Dia tetap tidak tersenyum. Ah… bodoh amat… gumamku.
“Cha, pesan makanan yuk”, ajakku sambil menarik tangannya. Aku dan Caca pergi meninggalkan mereka berempat. Dari belakang terlihat Devo mengikuti kami berdua. “Fika, apa loe benar-benar suka ma Bian”, tanya devo. Aku tersenyum. “gila banget kalau gue suka dia”, jawabku mengelak.
“jangan bohong dech, gue tau kok… Caca udah bilang semuanya”, jawabnya dengan santai. Aku memandang Caca dengan tampang yang agak menyeramkankan. Caca hanya tersenyum dengan menunjukkan wajah permohonan maaf.
“waktu perpisahan kita nanti, kami mau nampilkan band kami dengan judul lagu we will go on”, kata Devo. Entah mengapa anak ini berkata begitu. “terus…”,kataku. “mungkin itu lagu terakhir yang Bian nyanyikan untuk kita”, sambung Caca. Aku terkejut. Bian hanya sakit tifuskan. Dia tidak mungkin pergi dari kami begitu cepat. “dia akan melanjut sekolah SMA-nya di Jawa, kemungkinan reunian semester tahun depan nanti dia tidak akan pulang dang mungkin juga dia tidak akan pulang ke sini selamanya. Keluargaannya akan pindah ke Jawa”, jawab Devo melanjutkan perkataan Caca. Aku tidak tahu bahwa Bian akan melanjutkan sekolahnya di Jawa. Aku hanya tahu bahwa Bian akan melanjutkan sekolahnya di sini. Pikiranku kacau balau. Dia tidak memberitahukanku tentang hal tersebut. Padahal kami selalu sms-an seperti biasa. Sebegitukah aku tidak penting baginya.
“sebaiknya loe tembak aja dia. Walaupun kalian tidak bisa pacaran, minimal loe udah menyampaikan perasaan loe padanya”, ujar Caca. Aku juga sempat berpikir untuk menembaknyanya tapi itu hanya bisa jadi kenangan yang buruk bagi kami berdua. Apakah tidak ada cara lain agar Bian tetap di sisiku.
Aku berjalan memandang ke arah Bian. Aku tidak jadi memesan makananku. Aku duduk di sampingnya. Suasana di tempat itu sungguh hening. “Fika, lama banget sih loe. Mana makanannya, gue udah lapar nih”. Kata Fadi memecahkan kesunyian di tempat itu. “Fadi, bisa kita pergi dari sini. Gue suntuk banget”, ujarku memohon kepada Fadi. “yuk”, jawab Fadi. Fadi sepertinya mengerti dengan isyaratku.
Kami berenam pergi ke tepi sungai di dekat sekolah. Aku turun dari mengendarai motorku. Mereka mengikutiku dari belakang. Sepertinya Bian bisa menebak apa yang akan aku lakukan. “Bian”, ucapku dengan santai. Aku tidak meneruskan kalimatku. Malam itu begitu dingin bagiku. Padahal waktu baru pukul 20.45 wib tapi waktu sudah seperti tengah malam. “Bian… dulu gue pernah suka loe. Tapi… sekarang gue tidak suka loe lagi”, tiba-tiba mulutku berkata begitu tanpa pernah terarah olehku. Raut wajah Bian langsung berubah. “apaan sih kha”, ujarnya sambil pergi meninggalkan kami berlima. Aku sempat ingin menangis tapi aku tahan air mataku. Aku hanya bisa termenung melihat kepergiannya.
“Fika, gue antar loe pulang ya”, ujar Fadi padaku. Fadi menarik tanganku. Dia menyuruh Devo untuk mengantar Caca dan Difa. Aku sungguh tidak mengerti dengan kelakuan Bian. Aku sudah berteman dengan dia lebih kurang 3 tahun. Dari kelas 1 SMP, akau sudah akrab dengan dia tapi mengapa dia tidak bisa menerimaku. Aku tahu dengan ucapanku yang sudah salah. Selama ini aku selalu menyukai dia. Hanya dia cowo yang bisa membuat aku tergila-gila.
Sampai di rumah, aku langsung menuju kamarku. Ku menangis tanpa bisa tertahankan lagi. Malam itu aku sungguh kacau dan tidak bisa tidur.
Bian…
Maaf aku telah berkata begitu
Kuraih handphoneku dan kucoba kirim sms kepadanya. Aku sungguh nmenyesal mengapa aku berkata begitu kepadanya. Kuharap dia memblas sms-ku. Walaupun sudah kutunggu hampir tengah malam, Bian tidak juga membalas sms-ku. Tangisanku pun semakin pecah.
Semenjak kejadian malam itu. Aku dan Bian tidak saling komunikasi. Fadi, Devo, Caca dan Difa mencoba memberiku semangat. Aku mencoba berdiri dari patah hatiku. Aku mulai berpikir. Bukan hanya dia yang ada di hatiku.
Malam ini ada perpisahanku sebagai siswa SMP Tema. Malam ini, Bian, Fadi , Devo, akan menampilkan sebuah lagu sebagai ucapan perpisahan. Fadi menjadi gitaris, Devo menjadi bassis, dan Bian menjadi vokalis. Suara Bian sungguh merdu dan seakan-akan menyatakan benci kepadaku. Aku coba mengikuti malam perpisahan tersebut dengan suka ria.
Fadi melambaikan tangannya ke arahku dari atas panggung. Aku tersenyum padanya. Aku maju ke atas panggung dan ikut bermain gitar bersamanya. Rambutku yang terurai mulai ku ikat. Aku bermain gitar sepuasnya. Aku berharap aku bisa melupakan kejadian tersebut.
Lega dari perasaanku mulai terasa. Ku lihat Bian bersikap biasa-biasa lalu mengapa aku harus bersikap stress. Dia tidak peduli dan aku pun juga harus tidak peduli. “Fadi, foto berdua yuk”, kataku kepada Fadi. Fadi mengambil handphonenya dan kami mulai bergaya. Mungkin cintaku bukan Bian melainkan orang lain, so santai saja.

NB: Setiap aku membaca cerpen ini, aku selalu teringat kepadamu. Kau adalah cinta pertamaku. Kau adalah pencuri hati ini. Hingga waktu berlalu pun, setiap aku mendengarkan namamu atau sekedar melihat  foto ini dewasa kini, aku tetap tidak bisa melupakanmu. Cintaku kepadamu seolah kalimat ‘Ever After’.

Tinggalkan komentar