Day: Mei 13, 2013

Dahsyatnya Berbagi

Annisa melangkah semangat di jalan setapak yang kecil. Kerundungnya yang di terbangkan oleh angin malam tidak membuat gontai untuk melangkah ke kos-kosan. Kegelapan yang remang-remang dalam perjalanan dari mesjid tidak membuatnya takut apalagi mengurutkan niat untuk sholat sunnah itu. Bahkan sendirian tanpa keluarga menjalani bulan suci ini tidak membuat jenuh melangkah ke mesjib untuk menghadap sang pencipta.

Kriet… Annisa membuka pintu kos-kosannya. Sunyi sepi seolah tidak ada tanda kehidupan. Memang wajar sebab hanya dirinya satu-satunya yang masih berada di rumah luas tersebut. Semua teman kos-kosannya sudah pulang dan sedang berkumpul dengan keluarga. Ada sedikit rasa iri dalam hati membayangkan tawa gembira teman-temannya. Namun mau bagaimana lagi, biaya transportasi dari tempat kos-kosannya hingga rumah di kampung sebanding dengan biaya hidup empat bulan. Untuk saat sekarang, Annisa hanya bisa tersenyum dan mencoba mengambil hikmahnya saja.

Malam semakin larut. Rembulan semakin bersinar dengan terang-benderang. Annisa segera melangkah masuk ke dalam kamar. Di pandangnya sekeliling ruangan yang masih kosong. Sudah hampir tiga tahun dia berada di kota pelajar ini. Sudah hampir tiga tahun pula dia berpisah dengan keluarga besarnya. Di tahun ini pula dia tidak bisa bertemu dengan kedua orang tuanya. Perlahan Annisa membantingkan tubuhnya ke kasur tipis. Otaknya mulai membuka lembaran-lembaran kenangan empat tahun yang lalu saat masih berkumpul dengan keluarganya.

Ting… alarm ponselnya berdering. Sudah saatnya dia memasak untuk sahur subuh nanti. Tanpa membuat sifat malas merambah pikirannya, Annisa segera melangkah menuju tempat kardus makanan.  Di lihatnya dalam kardus itu, tidak ada apa-apa. Padahal seingatnya masih ada segelas beras dan sebungkus mie rebus. Annisa duduk termenung. Otaknya mulai kembali beraksi membuka lembaran-lembaran kejadian satu hari sebelumnya.

Annisa mengaduk-aduk sebungkus mie rebus dengan tenang. Hari ke- 23 bulan puasa ini, dia hanya bisa memakan mie rebus yang harganya tidak sampai dua ribu. Di tambah sedikit beras yang sudah di masaknya. Walaupun makan sahur sangat sederhana, Annisa sangat bersyukur. Setidaknya dia masih bisa makan untuk hari ini dan menunaikan kewajibannya.

“Sahur… sahur… sahur!” Suara gemuruh menyemarakkan kemegahan bulan suci. Annisa yang sudah selesai memasak, langsung membuka pintu dan melihat hiruk-pikuk kilat tersebut. Di gubuk ronda sudah berkumpul para pemuda-pemudi yang sedang merapikan peralatan. Tidak beberapa,  satu per satu di antara mereka mulai meninggalkan gubuk ronda yang tidak terlalu jauh dari kosnya.

Tiba-tiba, mata Annisa terpaku pada sosok anak laki-laki. Sosok itu tidak melangkah pulang seperti teman-temannya yang lain. Dia hanya duduk termenung di salah satu bangku gubuk ronda. Hingga semua temannya pada menghilangkan pun, dia masih duduk dengan wajah yang sedih.

“Hai, kenapa kamu nggak pulang?” tanya Annisa yang tiba-tiba sudah mendekati sosok itu.

“Sebentar lagi aku pulang!” jawab anak laki-laki tersebut sembari tersenyum.

“ Oh… kalau seperti itu, aku masuk ke kos dulu ya!” seru Annisa sembari melangkah pergi.

Sosok itu menganggukkan kepala, mempersilahkan. Tanpa babi-bu lagi, Annisa masuk ke dalam kamar kos dan segera menyantap lahap makanan sahur.

“Alhamdulillah,” ujar Annisa bersyukur.

Annisa segera merapikan peralatan makannya. Setelah itu dia menuju pintu, memeriksa apakah pintu kosnya sudah di kunci. Tiba-tiba matanya terpaku kepada sosok yang masih melekat dalam memorinya. Tanpa sadar, kakinya pun melangkah kembali dengan sendiri menuju sosok itu.

“Kok tidak pulang?” tanya Annisa penasaran.

“Ehm… bentar lagi!” jawabnya ragu-ragu.

“Kamu suda sahur?”

Sosok itu hanya diam, kemudian sedikit menggelengkan kepala dengan wajah sedih. Matanya terlihat sangat sendu. Perlahan, Annisa mulai mendengar isakan. Dia menangis. Dalam keheningan, Annisa bisa merasakan derita sosok itu.

“Kamu tunggu di sini sebentar ya!” lanjut Annisa sembari melangkah masuk ke dalam kos-kosan.

Sepuluh menit kemudian, Annisa telah kembali. Annisa segera memberikan sebuah baki yang berisi semangkuk mie rebus dan sepiring nasi kepadanya. Anak laki-laki menerima dengan suka cita. Dia makan dengan sangat lahap tanpa berkata apa-apa. Tidak tahu karena apa, hati Annisa merasa sangat senang. Seolah dia mendapatkan kesejukan dari senyuman sosok itu.

Tok… tok… tok… Annisa terkejut. Kenangan satu hari yang lalu menghilang. Dia segera berdiri dan menuju pintu.

“Malam Nisa, maaf  kalau saya menganggu!” ujar seorang ibu paruh baya yang sudah sangat di kenalnya. “Saya mau mengantarkann ini!” lanjutnya sembari memberikan sebuah baki penuh berisi makanan-makanan empat sehat lima sempurna.

Annisa termenenung sesaat. Dia berpikir dalam benaknya. Baru beberapa menit yang lalu, dia seolah sedikit tidak ikhlas telah memberikan persediaan makanan. Sesegera mungkin Annisa mengucapkan istigfar. Di bulan ramadahan ini, Sang pencipta semakin memperkuatkan makna keagungannya. Allah menampakkan sifatnya yang Maha Asy Syakuur.  Allah akan membalas amalan hamba-Nya dan menumbuhkembangkan amalan para hambanya meskipun amalan tersebut sedikit dan kemudian di lipatkan gandakan. Buktinya, Annisa hanya memberi sosok itu sepiring nasi dan semangku mie rebus, namun balasan berkali-kali lipat seperti janji-Nya. Sungguh, Allah maha Asy Syakuur !

“Terima kasih bu,” seru Annisa sembari memandang langit yang bertaburan bintang.

-Selesai-

NB: Sri Siska Wirdaniyati_Khai Purple

 

Buku Tugas

Alisa menghela nafas panjang. Butir-butir keringat bercucuran membasahi dahi dan seluruh tubuh mungilnya. Seragam olahraga birunya sudah mulai membentuk bercak-bercak kecil. Cahaya matahari telah meninggi dan  sosoknya seolah berada satu jengkal dari ujung kepala. Rasa haus menjelajah dalam kerongkongan.

Alisa membantingkan tubuhnya ke kursi kayu. Matanya melirik ke kalender di dekat pintu dan bibirnya langsung mengembang lebar. Ternyata dia sudah menjalankan rukun islam ke-3 selama 23 hari. Tidak menyangka, bulan penuh berkah ini dapat di jalankan dengan sangat lancar. Dia masih mampu menahan segala nafsu lahir dan godaan dari terbit fajar hingga terbenam matahari.

Mata Alisa kembali melirik. Sekarang kedua bola matanya menjelajah setiap sisi ruangan. Tidak ada siapa-siapa selain dirinya. Tiba-tiba matanya terpaku pada setumpuk buku. Tanpa sadar, kakinya melangkah mendekati meja segiempat. Tangannya mulai mengangkat satu per satu buku tugas matematika itu, mencari-cari namanya dalam tumpukkan tersebut. Perlahan dia menghela nafas lega. Bukunya masih ada.

Alisa belum beranjak, dia masih terus mengangkat satu per satu buku tugas tersebut. Akhirnya gerakannya berhenti pada sebuah buku dengan nama yang sudah tidak asing lagi di benaknya. Bahkan bisa di bilang sangat melekat dalam memori terburuk dalam kehidupannya beberapa bulan yang lalu.

“Alisa, aku boleh pinjam buku tugas kamu? Punyaku belum selesai?” pinta Yanu dengan wajah memelas.

“Tapi… “

“Malam tadi aku tidak sempat ngerjainnya, makanya hari ini aku mau nyontek punya kamu,” ujar Yanu menimpali lagi.

Alisa terdiam sejenak, dia berpikir. Sudah berulang kali dia mendengarkan alasan-alasan itu. Sudah berulang kali pula dia meminjamkan buku tugasnya kepada cowok tersebut. Padahal awalnya dia menduga Yanu akan berubah. Setidaknya mampu mengerjakan tugasnya sendiri. Dia harus membiasakan diri untuk bertanggung jawab apalagi dia adalah seolah laki-laki yang kelak akan memimpin sebuah keluarga. Tapi dugaan itu hanya sebatas dugaan yang tak terwujud.

Alisa segera menggelengkan kepala. Dia menolak permintaan Yanu. Seketika itupula Yanu menggeram. Wajahnya langsung memerah memancarkan aura amarah. Giginya saling beradu hingga suara tak tuk terdengar. Nafasnya mulai turun naik. Emosinya meluap.

“Dasar pelit! Awas kamu ya,” bentak Yanu kasar.

Alisa hanya tersenyum, mencoba bersikap tenang seperti biasanya. Dia segera melangkah keluar dari kelas. Setidaknya dia tidak ingin membuat Yanu semakin murka dalam kemarahan. Apalagai sampai mengusik ketenangan dalam kelas dengan kata-kata kasarnya. Bukan hal aneh kalau Yanu bersikap seperti itu termasuk pada seorang cewek. Mungkin karena kehidupan yang serba mewah dan bercukupan membuatnya merasa berada di atas langit. Dia merasa kalau dirinya yang paling hebat. Padahal harta dan tahta bukan segalanya di dunianya. Apalagi di mata sanga pencipta. Di mata sang Al Malik, manusia itu sederajat. Tidak ada yang kaya dan yang miskin.

***

Ting… tong… bel masuk berbunyi. Pak Bondang dengan wajah garang dan gaya bak seorang polisi yang siap menangkap pencuri masuk ke dalam kelas. Seketika itu semua murid duduk dengan sangat rapi, Mereka siap untuk mendapatkan ilmu, atau mungkin lebih tepatnya tidak ingin menjadi sasaran mangsa bapak gembul itu.

“Kumpulkan tugas kalian sekarang!” seru Pak Bondang tanpa basa-basi.

Para murid satu per satu mulai maju.  Tidak sampai lima menit, murid-murid itu sudah kembali ke posisi semula. Mereka kembali duduk dengan sangat rapi dan tenang. Hanya Alisa yang dari tadi kasak-kusuk di tempatnya. Dia panik dan gelisah. Seingatnya, pagi tadi dia masih melihat bukunya tergelatak santai di dalam tasnya. Namun sekarang, wujud kecilnya itu tidak tampak.

“Alisa, kenapa?” tegur Pak Bondang di ikuti dengan tatapan temannya yang ingin tahu.

“Buku saya tidak ada pak, tapi saya yakin tadi masih ada,” jawab Alisa terbata-bata.

Mendengar jawaban Alisa, Pak Bondang langsung mengeram. Kumisnya yang lebat terangkat. Matanya kecilnya membesar bekali-kali lipat. Dari hidung seolah keluar asap-asap kecil tanda kemurkaaanya. Seketika itupula, pandangan teman-temannya mendadak iba.

Alisa tidak perlu menunggu perintah apalagi bentakan Pak Bondang. Dia tahu apa yang harus di lakukannya. Sebelum meninggalkan kelas, dia memandang seluruh penjuru kelas. Matanya terpaku pada sosok yang tersenyum penuh kemenangan. Tapi dia tidak mau berprasangka buruk. Belum tentu Yanu menyembunyikan buku tugasnya. Tapi mengapa hatinya merasa sangat yakin dengan firasatnya ini? Apalagi matanya samar-samar menangkap sebuah buku di tangan Yanu yang sangat di kenalnya, sebuah buku merah muda berbalut sampul plastik transparan yang sangat bening.

“Alisa, kamu sedang apa?” ucap Tantri membuyarkan lamunan Alisa.

“Tidak sedang apa-apa kok,” jawab Alisa sembari tersenyum.

“Kalau memang begitu, aku mau ke kursiku dulu ya”

“Ya, silahkan!” kata Alisa mempersilahkan.

Mata Alisa kembali tertuju  pada buku tugas di tangannya. Pemilik buku ini sudah banyak membuatnya dalam kesusahan. Semenjak kejadian itu, Pak Bondang sudah tidak pernah percaya lagi. Sosok image anak teladan dalam dirinya telah hilang.

“Ayo ambil, kemudian sembunyikan buku tugas itu. Biarkan Yanu merasakan apa yang kamu rasakan dahulu. Kapan lagi kamu bisa melakukan balas dendam kepadanya kalau tidak sekarang!” sayup-sayup Alisa mendengarkan suara bisikan di telinganya.

“Ambil buku itu Alisa! Kesempatan ini tidak akan datang dua kali. Ingatlah ekspresi kemenangannya saat dia mengaku di hadapanmu bahwa dia yang menyembunyikan buku tugasmu itu. Jangan sia-siakan kesempatan ini, Alisa!” suara sayup-sayup itu kembali berbisik.

“TIDAK!” teriak Alisa membuat Tantri yang sibuk dengan kegiatannya baru terkejut.

“Kenapa Lis?”

“Tidak ada apa-apa kok! Hanya kaget melihat kecoa di sepatuku,“ jawab Alisa beralasan.

Alisa terpaku dalam pikirannya. Perlahan bibirnya mengembang membentuk senyuman. Dia memandang lekat pada buku tugas bertuliskan nama Yanuar Esya tersebut. Hari ini Alisa mendapat pelajaran penting. Bulan Ramadhan itu memang penuh keajaiban. Bulan suci itu memang penuh hikmah. Bulan puasa itu memang penuh berkah. Sebenarnya tidak perlu bersusah payah apalagi bekerja keras untuk membalas dendam. Cukup dengan memaafkan setiap kesalahan. Kata maaf adalah pembalasan yang terbaik. Apalagi memaafkan di bulan penuh keajaiban, hikmah, dan berkah ini. Kalau di umpamakan dengan materi di dunia, seperti tidak ada nilai dan bandingnya. Sungguh, Allah memang Maha Memiliki Kebesaran dan Maha Pemberi.

-Selesai-

NB: Sri Siska Wirdaniyati_Khai Purple