Annisa melangkah semangat di jalan setapak yang kecil. Kerundungnya yang di terbangkan oleh angin malam tidak membuat gontai untuk melangkah ke kos-kosan. Kegelapan yang remang-remang dalam perjalanan dari mesjid tidak membuatnya takut apalagi mengurutkan niat untuk sholat sunnah itu. Bahkan sendirian tanpa keluarga menjalani bulan suci ini tidak membuat jenuh melangkah ke mesjib untuk menghadap sang pencipta.
Kriet… Annisa membuka pintu kos-kosannya. Sunyi sepi seolah tidak ada tanda kehidupan. Memang wajar sebab hanya dirinya satu-satunya yang masih berada di rumah luas tersebut. Semua teman kos-kosannya sudah pulang dan sedang berkumpul dengan keluarga. Ada sedikit rasa iri dalam hati membayangkan tawa gembira teman-temannya. Namun mau bagaimana lagi, biaya transportasi dari tempat kos-kosannya hingga rumah di kampung sebanding dengan biaya hidup empat bulan. Untuk saat sekarang, Annisa hanya bisa tersenyum dan mencoba mengambil hikmahnya saja.
Malam semakin larut. Rembulan semakin bersinar dengan terang-benderang. Annisa segera melangkah masuk ke dalam kamar. Di pandangnya sekeliling ruangan yang masih kosong. Sudah hampir tiga tahun dia berada di kota pelajar ini. Sudah hampir tiga tahun pula dia berpisah dengan keluarga besarnya. Di tahun ini pula dia tidak bisa bertemu dengan kedua orang tuanya. Perlahan Annisa membantingkan tubuhnya ke kasur tipis. Otaknya mulai membuka lembaran-lembaran kenangan empat tahun yang lalu saat masih berkumpul dengan keluarganya.
Ting… alarm ponselnya berdering. Sudah saatnya dia memasak untuk sahur subuh nanti. Tanpa membuat sifat malas merambah pikirannya, Annisa segera melangkah menuju tempat kardus makanan. Di lihatnya dalam kardus itu, tidak ada apa-apa. Padahal seingatnya masih ada segelas beras dan sebungkus mie rebus. Annisa duduk termenung. Otaknya mulai kembali beraksi membuka lembaran-lembaran kejadian satu hari sebelumnya.
Annisa mengaduk-aduk sebungkus mie rebus dengan tenang. Hari ke- 23 bulan puasa ini, dia hanya bisa memakan mie rebus yang harganya tidak sampai dua ribu. Di tambah sedikit beras yang sudah di masaknya. Walaupun makan sahur sangat sederhana, Annisa sangat bersyukur. Setidaknya dia masih bisa makan untuk hari ini dan menunaikan kewajibannya.
“Sahur… sahur… sahur!” Suara gemuruh menyemarakkan kemegahan bulan suci. Annisa yang sudah selesai memasak, langsung membuka pintu dan melihat hiruk-pikuk kilat tersebut. Di gubuk ronda sudah berkumpul para pemuda-pemudi yang sedang merapikan peralatan. Tidak beberapa, satu per satu di antara mereka mulai meninggalkan gubuk ronda yang tidak terlalu jauh dari kosnya.
Tiba-tiba, mata Annisa terpaku pada sosok anak laki-laki. Sosok itu tidak melangkah pulang seperti teman-temannya yang lain. Dia hanya duduk termenung di salah satu bangku gubuk ronda. Hingga semua temannya pada menghilangkan pun, dia masih duduk dengan wajah yang sedih.
“Hai, kenapa kamu nggak pulang?” tanya Annisa yang tiba-tiba sudah mendekati sosok itu.
“Sebentar lagi aku pulang!” jawab anak laki-laki tersebut sembari tersenyum.
“ Oh… kalau seperti itu, aku masuk ke kos dulu ya!” seru Annisa sembari melangkah pergi.
Sosok itu menganggukkan kepala, mempersilahkan. Tanpa babi-bu lagi, Annisa masuk ke dalam kamar kos dan segera menyantap lahap makanan sahur.
“Alhamdulillah,” ujar Annisa bersyukur.
Annisa segera merapikan peralatan makannya. Setelah itu dia menuju pintu, memeriksa apakah pintu kosnya sudah di kunci. Tiba-tiba matanya terpaku kepada sosok yang masih melekat dalam memorinya. Tanpa sadar, kakinya pun melangkah kembali dengan sendiri menuju sosok itu.
“Kok tidak pulang?” tanya Annisa penasaran.
“Ehm… bentar lagi!” jawabnya ragu-ragu.
“Kamu suda sahur?”
Sosok itu hanya diam, kemudian sedikit menggelengkan kepala dengan wajah sedih. Matanya terlihat sangat sendu. Perlahan, Annisa mulai mendengar isakan. Dia menangis. Dalam keheningan, Annisa bisa merasakan derita sosok itu.
“Kamu tunggu di sini sebentar ya!” lanjut Annisa sembari melangkah masuk ke dalam kos-kosan.
Sepuluh menit kemudian, Annisa telah kembali. Annisa segera memberikan sebuah baki yang berisi semangkuk mie rebus dan sepiring nasi kepadanya. Anak laki-laki menerima dengan suka cita. Dia makan dengan sangat lahap tanpa berkata apa-apa. Tidak tahu karena apa, hati Annisa merasa sangat senang. Seolah dia mendapatkan kesejukan dari senyuman sosok itu.
Tok… tok… tok… Annisa terkejut. Kenangan satu hari yang lalu menghilang. Dia segera berdiri dan menuju pintu.
“Malam Nisa, maaf kalau saya menganggu!” ujar seorang ibu paruh baya yang sudah sangat di kenalnya. “Saya mau mengantarkann ini!” lanjutnya sembari memberikan sebuah baki penuh berisi makanan-makanan empat sehat lima sempurna.
Annisa termenenung sesaat. Dia berpikir dalam benaknya. Baru beberapa menit yang lalu, dia seolah sedikit tidak ikhlas telah memberikan persediaan makanan. Sesegera mungkin Annisa mengucapkan istigfar. Di bulan ramadahan ini, Sang pencipta semakin memperkuatkan makna keagungannya. Allah menampakkan sifatnya yang Maha Asy Syakuur. Allah akan membalas amalan hamba-Nya dan menumbuhkembangkan amalan para hambanya meskipun amalan tersebut sedikit dan kemudian di lipatkan gandakan. Buktinya, Annisa hanya memberi sosok itu sepiring nasi dan semangku mie rebus, namun balasan berkali-kali lipat seperti janji-Nya. Sungguh, Allah maha Asy Syakuur !
“Terima kasih bu,” seru Annisa sembari memandang langit yang bertaburan bintang.
-Selesai-
NB: Sri Siska Wirdaniyati_Khai Purple